Minggu, 07 Januari 2024

Darah Muda - Sebuah Cerita Pendek Tentang Remaja

Januari 07, 2024
Darah Muda - Sebuah Cerita Pendek Tentang Remaja


Pagi itu suasana belajar mengajar berjalan seperti biasa di SMA Putra Bangsa. Membosankan. Para siswa tampak malas malas an mengikuti jalannya pelajaran. Hanya sekali mengangguk dikala ditanya oleh guru. Aku pun merasakan hal yang sama. Bosan.

Kring.

Bel istirahat berbunyi. Para siswa pun menghambur keluar kelas tanpa menghiraukan guru yang belum menutup penjelasannya, ada hal yang lebih penting yang harus dibicarakan hari itu.

“Yan, gue tunggu di kantin ya?” tanya Alan padaku.
“Ok, tunggu wis. Aku mau ke Bunga dulu!”
“Sip, cepetan!” Tanpa menunggu jawabanku, Alan sudah ngacir pergi ke kantin berkumpul dengan para siswa yang lain.

Aku pun pergi ke kelas sebelah menemui bunga. Gebetanku. Menjelaskan rencanaku, bunga pun mengiyakan dan hanya berpesan untuk jaga diri. Setelah menemui Bunga aku pun bergegas berkumpul dengan teman temanku di kantin.

“Jhon, lu maju di garis depan, Faris dukung dari tengah, ilham pimpin temen-temen dari samping. Kita cegat mereka di perempatan senopati” Roni menjelaskan.

Dia lah pemimpin kami, siswa yang disegani di sekolahku. Siapa yang macam macam, jangan harap pulang sekolah dengan seragam rapi lagi, paling tidak lecet lecet habis dipukuli.

“Yan!” Joni menyebut namaku
“Apa?”
“Lo, support dari belakang, jaga jaga takut mereka curang.”
“Joko kamu record dari atas jembatan, oke. Pokoknya kita pukul telak SMK Pelita hari ini.” Roni masih melanjutkan instruksinya.

Setelah menyelesaikan instruksinya. Roni pun membubarkan kami.kembali ke kelas masing masing menyiapkan diri untuk kejadian yang tak akan pernah terlupakan sepulang sekolah nanti.

SMA Putra Bangsa dan SMK Pelita memang sudah bermusuhan sejak dulu, entah siapa yang memulainya. Kita rutin terlibat dalam tawuran baik besar maupun kecil. Entah apa penyebabnya, kadang hanya karena saling ejek yang berakhir dengan baku hantam.

Tapi, dua bulan lalu entah apa penyebabnya tawuran massal terjadi antara SMA Putra Bangsa dan SMK pelita. Banyak siswa yang luka luka. Yang paling parah adalah temanku Alex, berniat menyelamatkan Roni yang menjadi bulan bulanan anak Pelita Alex justru menjadi tumbalnya.

Tepat 2 bulan yang lalu di perempatan senopati menjadi saksi meninggalnya Alex. Teman seperjuangan kami.

Entah kenapa sejak pagi hari perasaanku tidak enak, setelah mendapat pesan singkat dari Roni yang meminta kami membawa senjata lengkap.

“Bawa senjata lengkap, kita balas kematian Alex besok, di tempat yang sama. Hancurkan SMK Pelita”. Perasaanku sungguh memburuk. 

Apa yang harus kulakukan? Tidak ada pilihan. Semuanya sirna oleh gengsi yang muncul. Olok olok yang akan datang, makian-makian yang nantinya datang. Semua itu akhirnya membulatkan tekadku untuk turut campur dalam serangan balasan itu.

Kring. Bel pulang sekolah pun berbunyi.

Seluruh siswa segera berkumpul di belakang sekolah. Mere-konsolidasi pasukan. Para siswa mengambil senjata mereka masing masing yang tadinya dititipkan kepada penjaga kantin yang tentunya dibayar oleh para siswa agar tidak diketahui guru.

Para siswa pun bersiap siap, ada yang membawa parang modifikasi sepanjang 1 meter, clurit, pedang, pisau lipat, dan senjata lainnya. Aku memutuskan hanya membawa batu dan balok kayu. Setelah semua siswa siap kami pun berangkat menuju perempatan senopati, bersiap untuk perang.

Setelah 30 menit berlalu, salah satu siswa yang ditugasi melihat kedatangan siswa SMK Pelita datang tergopoh gopoh.

“Ron, mereka datang, mereka bersenjata lengkap”
“Sialan” kutuk Roni
“Nasi sudah menjadi bubur, ayo kawan kawan serang mereka, demi Alex, demi sekolah kita, hancurkan SMK Pelita” ucap Roni
“Serang” teriak Roni

Setelah komando tersebut teman-temanku langsung menghambur menyerang segerombolan siswa SMK Pelita yang datang. Tak bisa dinanya, kericuhan pun terjadi. Para siswa pun saling pukul, darah segar mulai bertumpahan.

Melihat teman temanku yang bertarung di barisan depan, perasaan itu muncul. Perasaan menyesal, merasa bodoh, tapi apa daya, diriku merasa lebih malu disebut banci, pengecut atau semacamnya. Maka kuenyahkan perasaan itu.

Hujan mengguyur di tengah tengah pertempuran, masyarakat tak menghiraukan tawuran yang terjadi, mereka menyingkir, menutup pintu dan jendela, mencari tempat berlindung.

Ditengah guyuran hujan perang semakin memanas, makin banyak siswa yang terluka. Para siswa SMK Pelita mulai kewalahan, yang masih segar segera membopong teman mereka yang terluka parah. Teman temanku pun mulai bersorak gembira. Mereka menjadi semakin ganas. Satu siswa SMK Pelita pun terperangkap. Tanpa ampun teman-temanku menghantamnya dengan senjata mereka masing masing. Malanglah nasib anak itu.

Tak berapa lama berselang, suara sirine menyeruak.

“Polisi, polisi, bubar” tanpa dikomando dua kali, seluruh siswa pun bubar, berlari ke segala penjuru, hanya satu tujuan mereka. Selamat. Menyadari kegaduhan yang terjadi di garda depan, aku pun segera berlari menyelamatkan diri bersama temen teman ku di barisan belakang.

Dibawah guyuran hujan ku berlari sekuat tenaga. Entah kenapa perasaan itu muncul kembali, sial, kini ku sadar betapa bodohnya aku. Betapa tololnya aku. Aku sungguh menyesal atas pilihanku. Akupun merutuk diriku sendiri. Tapi apa daya semuanya telah terjadi. Kuhanya bisa berlari berharap selamat. Selamat.

Tapi apa daya, ternyata langit berkata lain, di bawah guyuran hujan. Kulihat teman temanku mulai tertangkap satu persatu. Tungkaiku pun terasa panas.entah kenapa rasa putus asa yang benar benar putus asa menyelimuti hatiku.

Crit... berbarengan dengan suara tersebut, diriku terhempas jauh.

Tulang tulangku terasa remuk. Ku tak mampu bergerak. Sekelebat bayangan mereka pun muncul, kedua orang tuaku, bunga, teman temanku. Kenangan mereka muncul. Tapi semuanya sudah terlalu terlambat, ku tak mampu lagi menyesalinya.

Hal terakhir yang kulihat adalah tubuhku yang dipenuhi genangan darah, lalu semuanya pun menjadi gelap.

(Maret, 2016)

_______________

*) Cerita ini hanya fiksi. Silahkan ambil pesan dalam ceritanya saja. Tawuran itu bukan hal yang baik dan hanya membuahkan penyesalan.
**) Temukan obrolan seru dan menarik tentang kehidupan sehari-hari dalam sudut pandang asik di Rahmankamal.com

Sabtu, 06 Januari 2024

Bisikan Hujan

Januari 06, 2024

“Warna, Jingga mau pulang.” Anak kecil itu terus menangis sambil menarik lengan baju teman laki-lakinya, sedangkan hujan semakin deras mengguyur bumi.

“Kenapa harus berhenti, Jingga? warna suka hujan.” balas temannya sambil menikmati hujan. Anak kecil bernama Warna itu sibuk menikmati hujan yang jarang sekali turun di kotanya. Dia terus saja bermain hingga lupa dengan Jingga yang sudah pucat pasi sambil memeluk lututnya.

Jingga menangis sekeras-kerasnya.

“Jingga mau pulang, Warna.” ucapnya terus menerus. Tapi Warna tidak mendengarkan.


“Jingga benci Warna.”tiba-tiba Jingga berdiri dan menatap tajam Warna yang sedang asyik bermain hujan. Sekarang warna mulai menyadari perubahan ekspresi Jingga.

“Kamu kenapa Jingga? Kamu gak suka hujan?” tanya Warna sambil memegang pundak Jingga.

Sebelum menjawab pertanyaan Warna, Jingga tiba-tiba pingsan.

***

“Wah, kamu lucu banget tahu waktu kecil. Mau sampe kapan kamu takut sama hujan? kita sudah SMA lho, Jingga.” Warna tetap tertawa hingga Jingga mencubit lengan Warna.

Sekarang mereka sedang bersantai di tepi danau. Meski hari sudah mulai sore mereka tetap tidak beranjak untuk pulang.

“Pokoknya aku gak suka hujan. Hujan itu dingin, nakutin, dan orang tuaku….” sebelum Jingga meneruskan kata-katanya, Warna memeluk Jingga terlebih dahulu. Memeluknya dengan penuh kasih sayang.

“Sudah. Orang tua kamu meninggal itu karena takdir tuhan. Tidak ada sangkut pautnya dengan hujan. Hanya karena mereka kecelakaan saat hujan turun kamu jadi membenci hujan? kenyataannya, bukan hujan yang salah Jingga. Hujan itu indah dan kamu harus tahu.” setelah Warna berkata seperti itu, tiba-tiba langit menampakkan warna kelabunya. Pertanda sebentar lagi akan turun hujan.

“Wa, mau turun hujan tuh. pulang yuk.”ajak Jingga. Namun Warna tetap diam. Membuat Jingga semakin kesal hingga rintik hujan sudah mulai membasahi bumi.

“Jingga” ucap warna menatap jingga, lalu mengajaknya melihat danau lebih dekat.

“Wa, mau kemana ini hujan Wa. aku takut” tapi Warna hanya tersenyum.

“Kalau kamu merasa takut, aku ada disini. Disamping kamu” ucap warna tenang sambil memeluk Jingga.

”kamu aman sama aku. Cobalah untuk berani dengan hujan" lanjutnya sambil melepaskan pelukannya pada Jingga.

“Sekarang nikmati hujan ini dan rasakan ini adalah pesan rindu dari semua orang yang mencintaimu”

Awalnya jingga takut. Dia terus saja memejamkan matanya hingga perlahan dia mulai merasa nyaman. Dilihatnya danau yang kini sudah di hiasi oleh rintik air hujan.

“Wah, indah sekali ya, Wa?” Warna tersenyum lalu merangkul pundak Jingga. Kini hujan sudah mulai menghentikan tetesannya.

“Jingga,sekarang kamu harus tahu alasan kenapa aku suka hujan.karena semuanya berhubungan dengan namaku. Setelah hujan akan ada pelangi yang di hiasi oleh berbagai macam warna. Sekarang kamu bisa melihatnya disana” Warna menunjuk penghujung danau. Disana pelangi terlihat sangat jelas. Jingga tersenyum.

“Dan sore ini juga berhubungan dengan nama Jingga. Senja di sore ini berwarna jingga” ucap Jingga bahagia ingin memeluk Warna. Namun tertahan setelah melihat darah yang mengalir di hidung Warna.

“Wa,kamu kenapa?” Jingga mulai khawatir. 

Diusapnya darah yang terus mengalir dari hidung Warna. Darah itu terus mengalir semakin deras. Membuat warna terjatuh namun tetap berusaha untuk tegar.

“Ah, ini mungkin efek dari aku jatuh. Kemarin aku jatuh lho Jingga, tapi aku gak ngasih tau kamu” ucapnya sambil pura-pura tersenyum. 

Jingga menggeleng.

“Bohong,ini darahnya banyak banget loh wa, yuk kita ke dokter” Jingga membantu Warna untuk berdiri, Namun Warna malah menggenggam tangan Jingga erat sekali. Dingin. Tangan Warna dingin. Itu yang di rasakan Jingga.

“Maafin aku Jingga, sebenarnya aku mengidap penyakit kanker darah sejak aku kecil.dan sekarang sudah stadium empat. Aku hebat ya, masih bisa bertahan sampai sebesar ini. Kamu tahu, Jingga? Aku belajar kehidupan ini dari kamu. Senyum kamu buat aku tegar.kamu bukan lagi sahabat buat aku, tapi kamu adalah warna dalam hidup aku"

"Jingga dengarkan Warna baik-baik, ya. Jika warna tak ada lagi untuk Jingga. Rasakan bahwa air hujan adalah Warna” pesan warna sebelum benar-benar meninggalkan Jingga untuk selamanya. 

Warna menutup mata di pangkuan Jingga.

***

2 tahun kemudian

Wanita itu menutup buku hariannya. Sekarang langkahnya menuju jedela, di luar sana sedang hujan, dan dia suka.karena wanita itu merasa hujan adalah pesan rindu darinya.